SEBUAH PERTANYAAN MENGENAI ‘INTEGRITAS’
DALAM RANGKA MELENGKAPI DIRI DENGAN BERBAGAI ALAT DAN TEKNIK UNTUK MEMASTIKAN ORGANISASI ANDA TELAH MEMILIKI NILAI-NILAI YANG TEPAT, IRM’S RISK LEADERS CONFERENCE 2013 MEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA ANDA UNTUK BERDIALOG DENGAN BERBAGAI PIHAK, BAIK YANG TELAH MENANGANI MAUPUN YANG TELAH DITUDING MELAKUKAN KESALAHAN.
Warren Buffet, ‘orang bijak dari Omaha’ dan telah dianggap sebagai investor tersukses di zaman modern ini, mengatakan: “Dalam merekrut pegawai, Anda perlu mencari tiga kualitas, yaitu integritas, kecerdasan, dan energi. Jika mereka tidak memiliki hal yang pertama, dua hal lainnya akan ‘membunuh’ Anda.”
Apakah organisasi Anda ‘membunuh’ dirinya sendiri? Bagaimana Anda dapat memastikan bahwa Anda telah bertindak dengan integritas? Dan apakah terdapat sebuah cara untuk memastikan bahwa Anda melakukan hal yang benar?
MORAL MAZE
IRM’s Risk Leaders Conferenceyang diadakan pada 4 November 2013 di London, United Kingdom, mengambil tema mengenai risiko, nilai, dan integritas.
Diskusi panel tersebut – menampilkan Paul Moore, mantan Head of Group Regulatory Risk di HBOS; Sharon Shoesmith, mantan Director of Education and Children’s Services di Haringey Council.; dan Cathy James, Chief Executive of Whistleblowing Charity Public Concern at Work (PCaW) – dimaksudkan untuk menjawab berbagai pertanyaan Anda seputar area pengawasan dari stakeholders dan media saat ini, yang disalahkan ketika terjadi masalah, dan diambil sebagai pembelajaran dari masa lalu.
Tetapi apa maksud dari istilah ‘kepercayaan’ dan ‘integritas’? Dr. Antonius Alijoyo, seorang panelis lainnya yang merupakan Principal dari Center for Risk Management Studies (CRMS Indonesia), menyatakan kepada RM Professional bahwa integritas adalah “menjadikan diri kita konsisten antara apa yang kita percaya dan yang kita pikirkan, antara apa yang kita pikirkan dan yang kita katakan, dan antara apa yang kita katakan dan apa yang kita lakukan”.
Kepercayaan, kata Alijoyo merupakan “tingkat keyakinan seseorang terhadap integritas orang lain”. Beliau menambahkan: “Harus ada korelasi antara integritas dan kepercayaan, terutama saat kita dalam posisi leader-follower. Secara personal, saya percaya bahwa semakin tinggi integritas seorang pimpinan, maka semakin tinggi pula kepercayaan dari pengikutnya terhadap perkataan dan tindakan pimpinan.”
INTEGRITY MONITOR
Meskipun terdapat asumsi bahwa semua pegawai dapat dipercaya dan bertanggung jawab sehingga memiliki integritas dalam tindakannya, namun tetap ada risiko bahwa organisasi Anda rentan terhadap kesalahan karena sistem dan struktur. Oleh karena itu, Alijoyo menyarankan, Anda harus memastikan agar para pegawai terinformasikan mengenai nilai-nilai perusahaan, sementara pimpinan Anda perlu mengatur keselarasan baik perkataan maupun tindakannya, serta menetapkan:
– Kode etik (code of conduct) yang jelas dan singkat, menentukan ekspektasi dalam memilih apa yang ‘benar’;
– Proses agar orang tetap sadar dan ingat akan kode etik tersebut;
– Diskusi rutin dewan organisasi dan pimpinan manajemen mengenai integritas;
– Update rutin profil risiko dan diskusi rutin seputar integritas dalam hubungannya dengan praktik bisnis;
– Asesmen pengendalian lingkungan (control environtment) yang independen;
– Peluang untuk whistleblowing.
Meskipun demikian, Alijoyo mengingatkan, masih terdapat kemungkinan yang mendorong seseorang untuk berperilaku ‘salah’ – terutama apabila seseorang berada disuatu lingkungan yang permisif (serba membolehkan) terhadap perbuatan salah dan meniru perilaku yang sama (the outside-in phenomena), atau apabila pimpinan dengan kepribadian yang kuat / cerdas menciptakan suasana kerja yang salah karena contoh perilakunya yang buruk (inside-out phenomena).
GUT INSTINCT
Sama seperti proses dan prosedur yang telah dibahas sebelumnya, panelis lain pada konferensi ini mengatakan bahwa kesediaan mendengarkan staf pegawai merupakan hal yang tidak kalah penting bagi organisasi.
Peter Neville Lewis, pendiri Principled Consulting dan seorang ahli di bidang budaya risiko, nilai-nilai, dan integritas perusahaan – yang telah melakukan hampir 1.000 survei mengenai moral pegawai – mengatakan bahwa perusahaan sebaiknya menahan diri dari membuat keputusan yang terburu-buru.
Beliau memperingatkan bahwa “Membuat keputusan cepat tanpa adanya pertimbangan matang bisa menjadi ‘lonceng kematian’ (death knell) bagi suatu bisnis,” Beliau juga menambahkan, “Anda perlu untuk berhenti, berpikir, berdiskusi, bersatu, dan kemudian bertindak. Walaupun Anda hanya berhenti selama 60 detik, sangat penting mengambil waktu tertentu untuk mengumpulkan saran, mempertimbangkan implikasi dari keputusan Anda, serta membangun suatu skenario/studi kasus. Keputusan yang lebih baik akan meningkatkan peluang Anda untuk bertindak dengan penuh integritas dan mengurangi eksposur risiko Anda. Dan itulah apa yang harus kita lakukan – membuat keputusan yang lebih baik.”
“Jika hanya terdapat 10 persen keputusan yang lebih baik, maka hal tersebut pasti akan memberi dampak. Tapi bagaimana kita tahu bahwa kita membuat keputusan yang lebih baik? Orang membuat penilaian dengan pikiran, perasaan dan keberanian. Masing-masing dari kita memilikineural print yang unik – inilah karakter kita. Pada dasarnya, hal tersebut tergantung pada nilai-nilai moral inti.”
“Melibatkan orang, mencari kesepakatan, dan bersikap rendah hati merupakan hal yang penting. Mengakui suatu kerentanan/kelemahan dapat sangat membantu. Seseorang memerlukan kerendahan hati untuk bekerja. Awalnya tempat kerja menjadi suatu komunitas, namun kini hal tersebut tidak lagi terjadi. Kesan bahwa kita semua memiliki rasa kebersamaan telah lenyap. Memiliki rasa kebersamaan akan mengurangi sejumlah risiko yang dapat mengekspos kita, atau mengurangi dampak yang ditimbulkannya.”
SEEKING THE LIGHT
Dalam panel tanya jawab di Risk Leaders Conference ini menampilkan pula tiga pembicara, yaitu penulis, jurnalis, dan pembicara dari TED, Margaret Heffernan; ekonom dan penasihat ekonomi senior PwC, Dr. Andrew Sentence CBE; dan Andrew Fisher, CEO Towry.
Heffernan, penulis dari buku Willful Blindness yang menceritakan sebuah kisah tentang pengabaian terhadap bahaya yang menimpa kita, menuliskan dalam bukunya bahwa mencari integritas dan nilai dapat dimulai dengan pertanyaan sederhana.
“Berbagai sumber risiko itu saling berhubungan, tiap sumber risiko dapat memperkuat sumber-sumber risiko lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi-organisasi harus sangat solid, memiliki pandangan luas pada pengurangan risiko, dan mempertimbangkan aspek sosial, intelektual, psikologi, sumber psikologi dan sumber struktur, serta pemulihannya,” tulisnya.
“Kita dapat membuat diri kita sendiri tidak berdaya ketika kita memilih untuk tidak tahu. Namun kita dapat memberi harapan pada diri sendiri ketika akan bersikeras untuk mencari tahu sesuatu. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang bijak, mulailah dengan pertanyaan sederhana: apa yang dapat saya ketahui, haruskah saya tahu apa yang saya tidak tahu? Apa yang kurang dari saya?”
Hal-hal tersebut merupakan pertanyaan yang diajukan oleh Andrew Fisher, CEO dari Towry yang juga menjadi pembicara dalam Risk Leaders Conference, saat beliau melakukan evaluasi etika dan moral di tempatnya bekerja sebagai penasihat keuangan dan manajemen investasi.
Ketika ditanya, mengapa Towry – perusahaan yang terkenal dengan ambisinya merencanakan ekspansi – melakukan evaluasi tersebut, Fisher mengatakan bahwa beliau ingin melakukan benchmark secara eksternal untuk memastikan terlaksananya nilai-nilai utama dari kepercayaan, integritas, keunggulan, dan kerja sama tim yang bukan hanya dipertemukan namun juga harus dikomunikasikan.
Beliau menambahkan, “Itu adalah perjalanan yang tidak pernah berakhir. Hasil yang saya inginkan adalah mengetahui dimana kita berada dalam hal relatif dan absolut, dimana yang perlu diperbaiki, dan bagaimana kita membawa semua hal itu secara bersama-sama”.
Fisher berbicara tentang: ‘Risk, what have you got to lose?’ Menurutnya, pendekatan nilai-nilai dan integritas yang tepat perlu diterapkan dalam suatu realita agar tidak terjadi kerugian.
Beliau memperingatkan bahwa masalah ini dapat berakibat fatal. “Kita telah melihatnya pada perusahaan-perusahaan di masa lalu, dimana perusahaan-perusahaan jatuh karena mereka kehilangan integritasnya. Meskipun tidak selalu seperti itu, tetapi membangun kembali reputasi yang sudah hancur dapat menghabiskan waktu bertahun-tahun. Anda tidak dapat menghentikan sesuatu yang terjadi, namun Anda dapat mengambil langkah untuk mencegahnya dan membuat rencana untuk menghadapinya. Hal ini bukan sekedar tentang ‘bad apples’, namun lebih berkaitan dengan ketidakmampuan untuk mengendalikan segala sesuatu yang bersifat eksternal. Anda harus memiliki kontinjensi pada tempatnya.”
Tulisan ini dikutip dan diterjemahkan secara bebas oleh CRMS Indonesia dari:
RM Professional Magazine: Autumn 2013 Edition