Risiko di dunia perbankan sebenarnya sudah lama disadari oleh para manajer bank. Tetapi sejak mencuatnya sejumlah kasus besar belakangan ini semakin menyadarkan kita mengenai betapa pentingnya manajemen risiko untuk mencegah terulangnya kasus serupa pada masa mendatang.
Tahun 2011 Perbankan Indonesia kembali diterpa sejumlah kecurangan (fraud) yang terjadi pada beberapa bank yang melibatkan pejabat bank yakni kasus penggelapan uang nasabah Citibank sebesar Rp17 miliar oleh Melinda Dee selaku Senior Relation Manager Citibank dan kasus pembobolan deposito milik PT Elnusa sebesar Rp111 M di PT Bank Mega yang dilakukan oleh Itman Harry Basuki selaku Kepala Cabang PT Bank Mega Cabang Jababeka.
Pembobolan bank oleh pejabat bank, baik yang terjadi di perbankan nasional tersebut merupakan risiko yang berkaitan dengan operasional bisnis atau lebih dikenal di dunia perbankan dengan risiko operasional (operasional risk), yakni risiko kegagalan operasional (operational failure risk) yang salah satu penyebabnya berasal dari faktor sumber daya manusia.
Untuk menanggapi risiko (risk response) atas risiko operasional tersebut, ada beberapa langkah yang dapat diambil salah satunya adalah dengan membangun kepekaan atau kepedulian sumber daya manusia (SDM) terhadap budaya risiko (risk culture).
Budaya risiko (risk culture) merupakan perilaku semua personil berinteraksi dan persepsi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan risiko. Persepsi terhadap risiko tersebut akan terefleksi dalam keputusan-keputusan yang diambil dan cara melakukan pekerjaan.
Budaya risiko menjadi semakin nyata pentingnya karena implementasi suatu sistem manajemen risiko meliputi tugas dalam operasional sehari-hari. Dalam keseharian tersebut faktor budaya kerja yang berkaitan dengan risiko itulah yang akan lebih menonjol dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi sistem ketimbang sistem itu sendiri. Proses yang berkaitan dengan budaya risiko biasanya dimotori oleh motivasi dari pimpinan puncak dan komitmen untuk melaksanakan manajemen secara konsekuen. Pimpinan puncak yang harus memberi contoh pelaksanaan budaya risiko, baru para bawahan akan mengikuti.
Dengan kata lain, manajemen bank atau lembaga keuangan bagaikan seorang kapten kapal induk yang sedang berlayar di perairan yang padat. Di satu sisi kapten kapal harus menjaga agar semua awak kapal menjalankan tugas masing-masing secara benar dan selalu menyadari bahaya yang akan terjadi bila tugasnya tidak dijalankan dengan baik. Kesalahan dalam operasional alat canggih disadari dapat menyebabkan masalah besar dan kesalahan operasional banyak dipengaruhi oleh faktor budaya risiko.
Bank yang beroperasi dalam industri perbankan harus secara bersama mematuhi berbagai aturan yang ada dan semua pihak saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan ini hanya dimungkinkan apabila semua pihak secara bersama mengembangkan dan mematuhi budaya risiko.
Untuk membangun budaya risiko diperlukan suatu keterpaduan langkah antara pihak manajemen/pimpinan dengan unit internal auditor. Langkah-langkah yang dapat diambil, dalam rangka menciptakan budaya risiko mencakup 5 tahapan. Pertama, komitmen pimpinan menciptakan irama yang sama (tone at the top). Sebelum penerapan budaya risiko diimplementasikan, harus ada komitmen bersama dari para pemimpin (eksekutif). Pemimpinlah yang menjadi pendorong utama memulai budaya risiko. Selanjutnya, manajer-manajer dan pimpinan level menengah berperan penting dalam mengomunikasikan dan mempengaruhi perilaku karyawan/pegawai dalam upaya untuk mengimplementasikan manajemen risiko.
Kedua, berikan edukasi kepada seluruh stakeholders mengenai pentingnya melakukan manajemen risiko. Sampaikan pemahaman kepada mereka, bagaimana potensi kerugian jika tanpa manajemen risiko. Lakukan workshop dan training manajemen risiko untuk manajer di berbagai level organisasi, bahkan stakeholders lainnya seperti supplier dan partner. Ini supaya stakeholders yang terkait dengan bisnis kita dapat melakukan manajemen risiko dengan standar yang sama. Ketiga, lakukan kegiatan-kegiatan bersifat knowledge sharing mengenai manajemen risiko, di mana karyawan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai manajemen risiko.
Keempat, sesuatu menjadi culture jika dilakukan secara terus menerus dan konsisten dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, supaya budaya risiko tercipta, maka harus terdapat komunikasi yang konsisten mengenai pentingnya manajemen risiko dalam aktivitas keseharian. Sehingga orang akan konsisten dalam melakukan manajemen risiko dan aktivitasnya. Kelima, jika organisasi mengekspektasikan supaya orang-orang di dalamnya melakukan manajemen risiko, maka harus diciptakan suatu pendekatan yang jelas terhadap manajemen risiko. Prosedur harus didokumentasikan, disosialisasikan, untuk kemudian diimplementasikan dalam keseharian pengambilan keputusan. Hal ini supaya jelas, dan tidak terjadi kebingungan mengenai langkah apa yang arus diambil.(*)
Oleh : St Rusdi