COVID-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 memberikan dampak yang buruk bagi perekonomian, khususnya di Indonesia. Dampak tersebut dapat terlihat hampir di semua industri, termasuk industri perbankan, sehingga hal ini pun memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kondisi perekonomian nasional. Berbagai stimulus hadir sebagai dampak dari pandemi COVID-19, salah satunya adalah beragam regulasi yang ditetapkan guna memperlambat penyebaran virus korona di Indonesia. Namun, hal baik tersebut membentuk persepsi dan pola perilaku yang baru di masyarakat yang mana tidak semua organisasi dan/atau industri menyiapkan infrastruktur yang efektif terhadap pola perilaku ini.
Tentunya perekonomian nasional semakin fluktuatif; seperti penerapan pembatasan sosial yang menimbulkan atau justru meningkatkan risiko-risiko yang sebelumnya belum teridentifikasi. Misalnya dalam industri perbankan, semakin banyak nasabah yang menggunakan layanan bank secara online. Berbagai organisasi pun berbondong-bondong melakukan transformasi digital yang imbasnya adalah peningkatan kemungkinan keterjadian risiko siber (cyber risk), khususnya dalam hal keamanan data pribadi pemangku kepentingan.
Dalam aktivitas perbankan, risiko merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan performa bank.
Adanya pandemi COVID-19 menjadi sebuah ketidakpastian yang dapat mengancam kemampuan dan kapasitas sebuah bank dalam mencapai sasarannya. Menurut Global Web Index, terdapat lebih dari 76 persen pengguna internet berusia 16- 64 tahun menghabiskan waktunya menggunakan smartphone di masa pandemi. Hal ini memperkuat argumen bahwa terdapat perubahan pola kegiatan masyarakat yang beralih ke media online. Apabila sektor perbankan tidak dapat menyesuaikan kondisi tersebut, fenomena perbankan tanpa bank atau “banking without the banks” akan semakin berkembang. Istilah ini pun menjadi ramai sejak kegiatan transaksi yang lazimnya di industri perbankan digantikan dengan platform yang berbasis teknologi (fintech). Dapat diasumsikan bahwa organisasi yang siap menghadapi perubahan zaman ini, seperti Fintech, akan lebih diuntungkan dengan adanya pandemi COVID-19 ini.
Di sisi lain, transformasi digital dalam perbankan atau open banking dapat menjadi solusi utama bank dalam menghindari bank run. Konteks penerapan digitalisasi bank bukan hal baru bagi sektor perbankan. Pada tahun 2019, Bank Indonesia memperkenalkan istilah Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 (BSPI) yaitu panduan dari arah kebijakan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran pada era digital dalam rangka mendukung pembentukan ekosistem ekonomi dan keuangan digital yang kondusif. Tren digitalisasi bank sudah menjadi sasaran industri perbankan, bahkan sebelum adanya COVID-19.
Bagi industri perbankan, COVID-19 justru menjadi katalisator yang mempercepat kematangan penerapan digitalisasi bank. Apabila dirancang dengan benar tentunya akan meningkatkan output perekonomian. Dengan prinsip dan kerangka kerja manajemen risiko yang terintegrasi dengan proses bisnis, sebuah bank pun tentunya akan menciptakan dan melindungi nilai baik kepada pihak eksternal (nasabah), dan juga pihak internal. Setiap keputusan akan menimbulkan konsekuensi baru; begitu pula dengan mengimplementasi strategi baru terhadap sasaran yang disesuaikan dengan kondisi “new normal”, diperlukan bagi organisasi untuk meninjau kembali efektivitas kendali yang ada, dan juga proses manajemen risiko yang telah terimplementasi.
Transformasi digital haruslah diikuti dengan adanya transformasi proses bisnis dan melakukan perbaikan berkesinambungan terhadap proses manajemen risiko agar tetap relevan dengan konteks eksternal yang ada.
ITA NURMANTI MANURUNG
Researcher of Aether Group Holding