Permasalahan utama pada pengembangan penilaian risiko terhadap tindakan ekstremisme dikarenakan ekstrimisme sendiri tidak mempunyai profil tertentu sehingga sulit menetapkan faktor apa saja yang akan dimasukan dalam penilaian. Selain itu, ada pula beragam motif dan metode yang dilakukan dalam tindakan ekstrimisme yang dapat berujung sebagai tindakan terorisme.
Terorisme dapat dilakukan secara individual atau bahkan terorganisir dalam sebuah grup tertentu. Tindakan yang dilakukan oleh para teroris dapat dilatarbelakangi oleh agama, rasa memiliki kewajiban untuk menjalankan hal suci dan diperintahkan tuhan. Atau bisa jadi para teroris tersebut ingin menaikkan status atau membuat wilayah baru, hal ini juga sering kita sebut sebagai tindakan nasionalis-separatis.
Para kriminologis dan psikiater forensik menyepakati beberapa ciri umum dari para penganut ekstremisme yakni rasa keterasingan dan menjadi korban atas ketidakadilan. Hal ini juga disertai dengan rasa penyesalan dan pengabdian kepada tujuan yang telah mereka pilih atau tentukan.
Saat ini, hanya ada beberapa panduan dalam penilaian risiko yang perlu digarap lebih dalam akan adanya perbedaan antara terorisme dan tindakan kriminal lainnya. Penilaian risiko di sini diperlukan untuk membantu kita dalam mengidentifikasi orang-orang yang cenderung akan melakukan tindakan kekerasan di masa depan. Penilaian risiko yang tepat juga sama saja mengurangi kekhawatiran akan adanya tren ekstremisme pada mahasiswa yang bisa berkembang menjadi tindakan terorisme di masa yang akan datang.
Dari tanah air sendiri sebanyak 39% mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia yang menjadi responden survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terindikasi tertarik pada paham radikal. Hasil ini menguatkan dugaan bahwa generasi muda adalah target penyebaran radikalisme dan universitas rentan menjadi tempat penyebarannya.
Ada beberapa pendekatan yang bisa dipilih untuk penilaian risiko yakni menggunakan faktor historis, kontekstual, dan kepribadian yang paling sering terlihat pada pelaku kekerasan. Beberapa pendekatan alternatif telah dirancang seperti penilaian kritis tanpa bantuan yang sangat fleksibel dan tidak terstruktur. Namun, metode ini juga dianggap terlalu subjektif, tidak bisa diandalkan dan dinilai tidak cukup valid.
Ada pula metode aktuaria yang bergantung pada faktor risiko yang statis pada tiap individu dan situasi. Metode ini mungkin terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan perbedaan secara individu, oleh karena itu penilaian profesional juga sangat dibutuhkan untuk hasil yang sistematis namun tetap fleksibel.
Adanya kesulitan dalam mengontrol radikalisasi yang seringkali muncul di dalam universitas membuat Shifa Tameer-e-Millat University yang berlokasi di Islamabad – Pakistan, mengambil inisiatif untuk menjadikannya sebagai isu nasional dan prioritas utama. Keputusan ini mereka ambil karena adanya peningkatan radikalisme yang terjadi pada anak muda di wilayah Pakistan.
Universitas ini telah mengadakan workshop untuk para pemimpin pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi untuk berdisikusi dalam mengidentifikasi penilaian risiko dan metode pencegahan akan adanya isu radikalisasi dan ekstremisme yang sering terjadi di dalam universitas. Antisipasi sejak dini dinilai sangat penting agar tidak berlanjut pada terorisme. Hal ini tentunya tidak bisa terjadi jika hanya berasal dari pihak universitas saja. Semua lapisan masyarakat secara nasional harus terlibat dalam upaya menyelamatkan pemuda-pemuda yang nantinya menjadi masa depan sebuah bangsa.
Sementara penelitian akan paham ekstremisme terus diselidiki, namun Pakistan sendiri belum menetapkan perspektif pada isu ini dalam skala nasional. Padahal yang saat ini dibutuhkan adalah adanya perspektif yang kuat untuk melawan perkembangan ekstremisme pada anak muda Pakistan dengan mempertimbangkan aspek politik, sejarah dan budaya. Dengan adanya pemahaman dan perlawanan yang kuat dari para pemudanya, sudah seharusnya perkembangan radikalisasi dan eksteremisme akan semakin menurun.