Pada akhir Mei 2017, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memutuskan Indonesia akan kembali aktif sebagai anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Reaktivasi ini dilakukan atas adanya permintaan dari Menteri Energi Arab Saudi dan Menteri Energi Persatuan Emirat Arab (PEA) pada beberapa waktu sebelumnya.
Sebelumnya, Jonan memutuskan untuk membekukan keanggotaan Indonesia dari OPEC sebagai ungkapan penolakan akan permintaan pengurangan produksi sekitar 5% atau mencapai 37 ribu barel per hari pada 30 November 2016 lalu dalam siding ke 171 OPEC di Wina. Padahal, saat itu kebutuhan penerimaan negara masih sangatlah besar.
Untuk menyikapi hal ini, surat reaktivasi yang dikirimkan ke OPEC juga menyebutkan bahwa produksi minyak mentah Indonesia tidak dipotong sebagaimana yang terjadi pada negara OPEC lainnya. Sujatmiko selaku Kepala Biro Komunikasi Kementrian ESDM mengungkapkan surat yang yang telah dikirimkan pada 24 Mei 2017 itu berisikan persyaratan dari status reaktivasi keanggotaan Indonesia. Indonesia tidak akan melakukan pemotongan produksi harian dikarenakan produksi harian minyak mentah di Indonesia sendiri sudah menurun sebesar 5 ribu barel dibandingkan 2016 dalam kesepakatan produksi minyak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Perlu diketahui dari catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) menyebutkan status produksi minyak mentah di Indonesia dinilai masih lesu hingga kuartal 1 tahun ini. Produksi minyak hanyalah sebanyak 815,6 ribu barel per hari dan ini hanya melebihi 0,07% dari target yang ditetapkan APBN, yaitu sebesar 815 ribu barel per hari. Bahkan, saat ini setengah dari 1,6 juta barel kebutuhan minyak Indonesia diperoleh dari luar negeri.
Tentunya dengan aktif kembali sebagai anggota OPEC akan menguntungkan Indonesia di tengah kondisi seperti ini. Dengan reaktivasi keanggotaan, OPEC akan memberi akses Indonesia untuk membeli minyak secara langsung dari negara produsen yang tentunya akan lebih murah dibandingkan dengan membeli dari perusahaan niaga atau trader yang menjual dengan lebih mahal.
Indonesia sendiri memiliki sejarah keanggotaan OPEC yang cukup panjang. Reaktivasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi Indonesia. Bukan hanya secara hubungan multilateral dengan OPEC ataupun bilateral dengan negara pengekspor, namun juga beragam peluang investasi hulu migas serta harga khusus pembelian minyak dari negara anggota OPEC.
Wilayah industri migas tanah air kian menyusut jumlahnya dari tahun ke tahun. Penyusutan ini lebih tepatnya telah terjadi sejak tiga tahun lalu. Pada tahun 2013, jumlah wilayah kerja pada bidang migas Indonesia mencapai yang tertinggi sepanjang 14 tahun, yaitu sebesar 321. Namun, hal ini mengalami penurunan di tahun 2014 saat wilayah kerja migas menyusut menjadi 318, dan 280 pada tahun 2016.
Dengan adanya penyusutan ini, pemerintah lantas menetapkan skema gross split pada industri migas sejak awal tahun 2017. Regulasi yang baru ini dinilai akan menggenjot pertumbuhan kinerja industri migas. Namun, pada kenyataannya skema ini tidak lantas menjadi suatu hal yang menggiurkan bagi para investor migas.
Kebijakan yang kurang diminati tersebut diakibatkan adanya kekhawatiran dari para investor tentang keuntungan yang diperoleh skema ini tidaklah sama besar dengan skema cost recovery. Selain itu, pada skema gross split ini investor menjadi pihak yang sepenuhnya menanggung risiko. Hal ini tentunya makin memperumit dari sisi investor, ditambah lagi dengan perijinan yang sulit serta gejolak sosial yang bisa saja memengaruhi investasi mereka.
Semoga saja dengan status reaktivasi keanggotaan Indonesia pada forum OPEC ini akan benar-benar memberikan banyak manfaat bagi Indonesia baik dari sisi hubungan bilateral maupun multilateral. Khususnya, reaktivasi ini diharapkan akan semakin menggenjot pertumbuhan industri migas tanah air.