Telah disahkannya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat Indonesia memiliki lembaga independen baru dalam hal pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Terbentuknya OJK, membuat kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) akan berpindah kepada OJK. BI akan lebih bertanggung jawab dalam menangani masalah makro (macro-prudential supervision) yang fokus pada kestabilan sistem keuangan dengan cara memitigasi risiko sistemik, dan OJK berwenang dalam menangani masalah mikro (micro-prudential supervision) yang fokus pada kesehatan institusi perbankan secara individual. Peran Bapepam-LK terhadap pengaturan dan pengawasan Pasar Modal dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) akan dialihkan ke OJK. Oleh sebab itu, beberapa lembaga yang akan berada di bawah pengawasan OJK adalah perbankan, pasar modal, lembaga asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel diperlukan untuk membentuk perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Kegiatan tersebut juga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Pembentukan OJK sebagai lembaga dengan fungsi dan sistem yang telah terintegrasi, juga merupakan respon atas perkembangan sektor jasa keuangan yang telah mengalami perkembangan pesat seiring dengan globalisasi dan keterbukaan pasar.
OJK dibentuk untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan pengawasan pada sektor keuangan di Indonesia, tetapi implementasi aktual dari lembaga tersebut untuk mencapai tujuannya merupakan hal tersulit dan menjadi tantangan tersendiri bagi Negara Indonesia. Tantangan lain yang dihadapi oleh Indonesia adalah memiliki komitmen yang tinggi dalam prosesnya membentuk OJK untuk dapat melaksanakan tugas dalam economies of scope & economies of scale yang lebih besar, reformasi hukum, dan politik yang lebih baik. Namun, OJK juga akan menimbulkan sejumlah risiko yang akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Sumber pembiayaan OJK yang awalnya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dapat membuat independensi dari lembaga tersebut terganggu dan bahkan rentan terhadap tindakan-tindakan politis yang tidak terpuji, sehingga OJK akan sensitif terhadap risiko terpolitisasi maupun upaya-upaya ‘fraud’ seperti tindak korupsi dan kolusi yang saat ini banyak terjadi pada organisasi yang menggunakan anggaran negara.
Terbentuknya OJK memberikan harapan yang tinggi kepada pemerintah Indonesia, komunitas Industri Jasa Keuangan, dan bahkan masyarakat Indonesia secara umumnya. Harapan terhadap OJK harus tertangani secara wajar, yaitu dalam hal kemampuan untuk melakukan eksekusi operasional sesuai dengan tuntutan komunitas, maupun kemampuan untuk menjadi lembaga independen yang mengedepankan praktik terbaik dari good corporate governance dan manajemen risiko sehingga tidak ada reputasi yang terciderai. Sehubungan dengan hal tersebut, maka OJK akan menghadapi risiko reputasi yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan industri jasa keuangan terhadapnya dan pada akhirnya dapat berdampak pada perkembangan sektor jasa industri keuangan di Indonesia yang diawasinya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mempunyai pekerjaan tambahan di tahun 2014, setelah Bank Indonesia (BI) memberikan wewenangnya untuk mengawasi sektor perbankan. Bergabungnya sektor perbankan akan membuat OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor industri jasa keuangan. Kesadaran hukum konsumen maupun industri jasa keuangan yang meningkat akan menuntut pelayanan di tingkat yang lebih profesional sesuai dengan aturan baru yang ditetapkan oleh lembaga independen yang baru seperti OJK di Indonesia. Risiko hukum akan timbul akibat dari ketidakmampuan industri jasa keuangan dalam mengaplikasikan persyaratan regulatif ke dalam sistem operasional mereka. Sehingga aspek hukum harus menjadi perhatian bagi para profesi manajemen risiko di Indonesia, khususnya pada sektor industri jasa keuangan.
Sebagai lembaga pengawas independen yang baru berdiri dan beroperasi di Indonesia, OJK diharapkan mampu membuat sektor jasa keuangan beroperasi lebih baik. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembentukan dan pelaksanaan dari OJK akan membawa tantangan serta risiko. Pemerintah serta masyarakat Indonesia diharapkan dapat menangani risiko yang dimunculkan lembaga independen baru tersebut, dengan cara meninjau kembali aturan hukum maupun implementasi tugas dan fungsi dari OJK sebagai lembaga pengawas yang independen. Perlu diadakan proses seleksi dan pelatihan yang terpadu dalam pengoperasian OJK agar lembaga tersebut dapat didukung oleh sistem dan sumber daya manusia yang andal. Diperlukan juga pelatihan-pelatihan sumber daya manusia pada sektor industri jasa keuangan agar dapat melahirkan para profesi manajemen risiko yang mampu mengatasi risiko-risiko yang muncul.
Daftar Pustaka www.ojk.go.id Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan http://cwts.ugm.ac.id/2013/04/implikasi-pembentukan-otoritas-jasa-keuang… http://news.liputan6.com/read/409404/calon-anggota-komisioner-kritik-kel… http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/26/04354490/Independensi.O…
Ditulis oleh: Denny Susanto (Associate Researcher) – CRMS Indonesia