Beberapa waktu yang lalu, salah satu TV Swasta mengangkat topik mengenai gaya kepemimpinan dua Presiden kita yang terakhir yakni Sby dan Jokowi. Acara tersebut membahas beberapa pengambilan keputusan penting yang dikemukakan sebelumnya oleh Sekjen PDIP selama periode Sby 2004 – 2014 dan Jokowi 2015 – sekarang. Hadir dalam perbincangan tersebut politisi PDIP Bima Aria , mantan politisi Demokrat Roy Suryo dan dua pengamat politik Emrus Sihombing dari Universitas Pelita Harapan (pakar komunikasi politik) dan Ujang Komarudin Political Scientist dari Universitas Al Azhar Indonesia. Perdebatan berjalan hangat tapi cenderung tidak memanas dalam suasana yang “Cooling Down” berkat kepiawaian sang “Sang Host” yang cukup berpengalaman mengendalikan situasi.
Diskusi diselingi dengan pendapat tertulis JK yang nota bene pernah berpasangan dengan kedua Presiden tersebut sebagai Wapres. Tentunya yang disampaikan oleh JK adalah objektif karena faktual dan dialami sendiri oleh beliau, bukan opini yang lazim disampaikan pengamat. Keputusan apapun yang diambil oleh dua orang Kepala Negara bisa dikatakan situasional dan kondisional namun semua nara sumber berpendapat ada semacam pola “decision making process” yang diambil masing-masing. Penulis tidak akan mengomentari gaya atau pola pengambilan keputusan dari kedua Kepala Pemerintahan tersebut tetapi hanya memberikan komentar dimana tidak seorangpun dari yang hadir dalam diskusi tersebut melihatnya dari sudut pandang manajemen risiko.
Sikap Terhadap Risiko
Risiko dapat didefinisikan sebagai ketidakpastian atau “Uncertainty”. Semakin besar ketidakpastian dalam suatu permasalahan yang harus diambil keputusan, makin kompleks proses pengambilan keputusan yang harus ditetapkan. Pada dasarnya ada tiga sikap dasar dalam menghadapi risiko yaitu berani mengambil risiko atau “Risk Taker”, yang kedua menghindari risiko atau “Risk Avoider” dan yang ketiga cenderung memilih hasil yang memiliki ketidakpastian rendah dibanding hasil tertentu yang memiliki ketidakpastian lebih tinggi / lebih besar atau “Risk Averse”. Terdapat hubungan searah antara risiko dengan hasil (Risk return trade off). Hal seperti ini banyak dijumpai di bidang ekonomi, keuangan, investasi maupun bisnis. Mereka yang menghindari risiko cenderung untuk tidak berani mengambil keputusan sehingga akan “menggantung” permasalahan atau keputusan yang diambil menjadi tidak jelas dan meragukan
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bagaimana sikap kedua Presiden kita tersebut. Tidak seorangpun dari mereka bersikap menghindari risiko karena faktanya cukup banyak keputusan penting dan strategis yang diambil dalam kurun waktu pemerintahannya.
Dasar Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan yang tepat harus didasari informasi yang memenuhi syarat :
– Mutakhir atau “up to date”
– Dapat dipercaya atau “reliable”
– Keterwakilan atau “representative”
– Menyeluruh atau komprehensif tidak parsial
Semua syarat di atas bisa terpenuhi melalui suatu riset yang didesain sedemikian rupa sehingga keputusan yang diambil berbasis riset yang “comprehensive” atau Research Based Decision Making. BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang didirikan beberapa waktu yang lalu dapat dimanfaatkan Pemerintah (Pusat ataupun Daerah) untuk dijadikan dasar mengambil berbagai keputusan strategis dan secara implisit memang itulah dasar utama pembentukan badan tersebut. Diharapkan setiap pengambilan keputusan akan dapat ditetapkan “on time”, sesuai waktu yang dibutuhkan. Seperti kita ketahui Presiden Jokowi telah menunjuk Prof Dr (HC) Megawati Presiden R.I. ke 5 sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Diharapkan riset penting seperti rencana Pembangunan Ibu Kota Negara, kereta api cepat Jakarta Surabaya dll dapat dilakukan oleh Badan yang memiliki segudang Peneliti Utama dari berbagai disiplin ilmu tersebut.
Hotbonar Sinaga (hotbonar205@gmail.com), Jakarta 16 November 2021
Dosen Manajemen Risiko FEB-UI 1973-2016, Ketua Dewan Pengawas – Dewan Asuransi Indonesia 2021-2024