Dikontribusikan oleh Bapak H. Kusnadi Jaya, S.Kep., Ns, M.Kep., QRMA., CRP., CHAE.
Ketua Sub Komite Manajemen Risiko RSUD dr. Murjani
Kendali manajemen risiko di rumah sakit pada saat ini terintegrasi dalam wadah Komite Mutu sebagai sub komite, bersama-sama dengan Sub Komite Mutu dan Sub Komite Keselamatan Pasien. Sejak era SNARS, SNARS 1.1, hingga era STARKES, aktivitas manajemen risiko selalu menjadi perhatian dalam penilaian akreditasi rumah sakit. Beberapa istilah populer berikut akan mengkoneksikan anda dengan manajemen risiko di rumah sakit antara lain: proses berisiko tinggi, pelayanan berisiko tinggi, FMEA, risiko jatuh, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK), Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Hazard Vulnerability Assessment (HVA) dan Risk Register itu sendiri. Dengan kata lain, sejak 2012 manajemen risiko telah dikenal dan diaplikasikan di rumah sakit.
Yang menarik adalah, ketika Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 tahun 2019 tentang Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi di Lingkungan Kementerian Kesehatan dirilis, seketika PMK ini menjadi soko guru peraturan-peraturan internal terkait manajemen risiko di rumah sakit, baik itu RS vertikal, RSUD, dan RS swasta. Sampai akhirnya ketika IRMAPA menyelenggarakan event mengenai GRC sektor publik, dilanjutkan kemudian CRMS dan ekosistemnya menyelenggarakan event menuju Indonesia Emas melalui Manajemen Risiko, barulah saya memahami bahwa PMK 25/2019 adalah peraturan turunan yang dilahirkan lebih dahulu sebelum Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (PP MRPN) dirilis. Dengan demikian, spiritnya PMK 25/2019 adalah mengelola risiko-risiko terkait pembangunan nasional. Dengan kata lain, (Jika PMK 25/2019 ini tetap dijadikan rujukan peraturan internal RS terkait manajemen risiko) peraturan ini mendudukkan posisi rumah sakit sebagai sebuah entitas yang terlibat dalam pencapaian sasaran strategis sektor kesehatan yang tertuang dalam RPJMN sektor kesehatan yang akan berakhir tahun 2024 ini. Dengan kata lain, pada akhir 2024 ini semua RS yang merujuk pada PMK 25/2019 harus mereview semua ketidakpastian yang mempengaruhi kapasitasnya dalam berkontribusi terhadap pencapaian sasaran-sasaran RPJMN sektor kesehatan dalam skala lokal atau regional untuk mendapatkan gambaran tentang risiko residual. Jika kita berdiri di RS Vertikal tentu hal ini sudah otomatis berjalan. Namun ketika kita di posisi RSUD dan RS Swasta, rasa-rasanya analisis risiko residual kita masih belum mempertimbangkan hal itu.
Diskusi-diskusi lebih mendalam tentunya akan semakin dibutuhkan manakala kita mencoba mendudukkan manajemen risiko PPI, MFK, K3 dan Risiko Keselamatan Pasien lalu mengintegrasikannya ke dalam konteks MRPN (dalam hal ini adalah PMK 25/2019) dan mencoba memberikan label “Manajemen Risiko Terintegrasi”. Bukan hanya mendalam, bahkan mungkin akan menghabiskan bergelas-gelas kopi. Dan pastinya akan semakin seru ketika kita menarik ISO 31000 (2018) dan SNI 8848 (2019) ke dalam pusaran diskusi itu.
Tetapi sebelum meja diskusi disiapkan, izinkan kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan sedikitnya 4 pokok pikiran yang harus segera dirembug terkait dengan manajemen risiko pelayanan kesehatan di rumah sakit, sebagai berikut:
Gaya apa yang akan digunakan?
Kita sudah sepakat bahwa manajemen risiko di RS berpusat pada area klinis dan non klinis. Meskipun definisi operasional tentang risiko klinis dan non klinis itu sendiri masih bervariasi, tetapi setidaknya ruang lingkup manajemen risiko telah spesifik. Yang tersisa hanya menentukan pendekatan apa yang akan digunakan.
Meskipun terdapat beberapa pendekatan manajemen risiko, tetapi umumnya disepakati bahwa ISO 31000 (2018) adalah pendekatan yang paling popular dan mudah dipahami. Walaupun dalam kenyataannya belum diintegrasikan secara utuh dan holistik dari prinsip-prinsip, kerangka kerja dan proses manajemen risiko itu sendiri. Tetapi setidaknya ketika kita sudah menetapkan ISO 31000 sebagai gaya manajemen risiko yang akan diaplikasikan, maka tahapan-tahapan yang kita lakukan menjadi lebih terstruktur dan sistematis.
Apakah konteks manajemen risiko (baik klinis maupun non klinis) sudah teridentifikasi?
Pertanyaan besar yang menggelayut dalam benak saya ketika mendampingi profesional pemberi asuhan (PPA) di RS tempat saya bekerja untuk menyusun manajemen risiko klinis dalam asuhan pasien terintegrasi serta manajemen risiko fasilitas dan keselamatan adalah tentang konteks manajemen risiko yang akan dijalankan. PMK 25/2019 tidak memberikan petunjuk terkait konteks ini. Dua skenario yang mungkin untuk digunakan adalah: pertama, manajemen risiko klinis dalam asuhan pasien terintegrasi adalah sebuah ruang lingkup; ataukah kedua, asuhan pasien terintegrasi adalah sebuah konteks dan manajemen risiko klinis adalah domainnya. Saya pribadi lebih cenderung pada skenario kedua.
Apakah sasaran SMART telah ditetapkan di seluruh lini dan tingkatan organisasi?
ISO 31000 (2018) mendefinisikan risiko sebagai efek ketidakpastian terhadap sasaran. Dengan kata lain, jika sasaran tidak ditetapkan dengan jelas maka setiap ketidakpastian akan sulit dianalisis. Cascading sasaran harus dilakukan sejak tingkatan strategis, operasional hingga kegiatan sehingga memberikan ruang lingkup dan konteks yang jelas. Apapun area dan domainnya, manajemen risiko membutuhkan sasaran yang Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan memiliki Time-bound.
Apakah konsep Risk Owner dapat diterima?
Konsep yang terakhir ini bagi saya agak berat untuk disampaikan, tetapi mau tidak mau harus disampaikan sebagai bahan pemikiran. Dalam 3 lini pertahanan, pertahanan lini kesatu adalah risk owner. Konsep risk owner merujuk pada pengampu jabatan yang memiliki tanggung jawab terhadap area, ruang lingkup dan konteks yang akan diterapkan. Risiko strategis tentu dimiliki oleh Direktur sebagai penanggung jawab tertinggi. Risiko operasional mungkin berada di level Wakil Direktur, Kepala Bidang, Kepala Bagian, yang memimpin operasional organisasi. Sedangkan risiko level kegiatan (project) mungkin berada di tangan Kepala Unit atau Instalasi dengan kekhususan pekerjaannya masing-masing. Dengan demikian, kendali terhadap aktivitas manajemen risiko sejatinya melekat pada jabatan yang diampu. Maka, sejatinya tidak ada lagi kebutuhan terhadap “penanggung jawab risiko tertentu” selain daripada risk owner. Walaupun dalam prosesnya ia bisa saja dibantu oleh risk officer dengan kekhususan tertentu. Tetapi seluruh tanggung jawab pengendalian risiko sejatinya melekat pada risk owner.
Sebagai penutup dari tulisan ini, Penulis mengakui bahwa manajemen risiko di RS sebenarnya telah berlangsung lama seiring dengan dilaksanakannya praktik kedokteran di RS. Bahkan mengusung value yang sangat luhur, yakni: layanan berkualitas dan keselamatan pasien. Penggunaan pendekatan ISO 31000 bukanlah suatu koreksi terhadap semua aktivitas manajemen risiko yang selama ini berlangsung, namun merupakan universalisasi agar semua aktivitas manajemen risiko yang ada di RS dapat dikomunikasikan dan dipahami bersama oleh mereka yang berasal dari berbagai latar belakang. Universalisasi manajemen risiko dengan ISO 31000 sangat bermanfaat bagi RSUD. Sekali kerja, produknya langsung dapat menjawab kebutuhan audit manajemen risiko BPKP dan sekaligus untuk kebutuhan akreditasi.