“…..You can’t control people through policies, procedures and policing. You can only do it through a strong risk management culture and absolute integrity in all leaders.”
Leadership on Trial, A Manifesto for Leadership Development [1]
Risk culture dapat didefinisikan sebagai norma-norma dan tradisi perilaku individual atau kelompok dalam suatu organisasi yang menentukan cara mengidentifikasi, memahami, bediskusi, dan bertindak terhadap berbagai risiko yang dihadapi dan diambil organisasi.[2] Membudayakan risiko sebagai bagian terintegrasi dalam hal pengambilan suatu keputusan organisasi merupakan kewajiban Pimpinan Organisasi, baik Chief Risk Officer (CEO), Board of Directors (BOD), ataupun Board of Commissioner (BOC). Pimpinan Organisasi mempunyai tanggung jawab untuk menetapkan, mengkomunikasikan, dan menjalankan suatu risk culture secara konsisten dengan cara mempengaruhi, mengatur, dan menyelaraskannya dengan strategi dan sasaran organisasi melalui kerangka kerja dan proses manajemen risiko yang diterapkannya.[3] Hal ini merupakan perpaduan bagaimana risk leadership dapat menciptakan risk culture dalam suatu organisasi.
Studi Kasus Mengenai Risk Culture & Leadership
Untuk memahami lebih dalam lagi mengenai bagaimana pimpinan organisasi dapat menetapkan dan mempertahankan budaya manajemen risiko yang efektif, berikut terdapat ringkasan sebuah studi kasus yang dapat dijadikan contoh, yaitu Risk leadership at TD Bank Group.[4] Pada tahun 2002, kepemimpinan baru dari TD Bank memutuskan untuk menetapkan ulang selera manajemen risikonya (risk management appetite). Perubahan dalam strategi risiko ini diikuti dengan kinerja yang buruk selama beberapa tahun, dimana TD Bank telah mengalami kerugian kredit yang signifikan karena terlalu mengekspos penyaluran kreditnya pada satu nama atau hanya sektor industri tertentu saja.
Selama dekade selanjutnya, TD Bank mengubah strategi sebelumnya dengan meninggalkan produk serta investasi yang berisiko dan sangat kompleks, mengurangi ketergantungan kreditnya pada satu nama atau industri tertentu saja, dan membangun retail banking serta bisnis wealth management di US dan Kanada. Perubahan ini membuat TD Bank, dari yang sedikit mempunyai kendali atau tidak dapat mengendalikan risiko-risikonya, menjadi lebih paham dan lebih dapat mengelolanya. Dari tahun 2002 hingga 2012, TD Bank Group berubah dari bank terbesar ke-55 menjadi bank terbesar ke-6 di Amerika Utara, dalam hal kapitalisasi pasar. Selain itu, TD Bank juga menjadi salah satu dari hanya dua bank di US atau Kanada yang memiliki credit rating AAA dari Moody.
Kasus TD Bank ini memberikan contoh bagaimana peran pimpinan organisasi dalam menciptakan dan mempertahankan suatu budaya risiko strategis yang mempunyai pengaruh kuat pada perilaku yang berhubungan dengan risiko di semua tingkatan dalam organisasi. Risk culture yang baru tersebut dibangun dalam praktik, proses, dan sistem manajemen risiko yang telah ada. Kasus TD Bank ini juga menunjukkan bahwa budaya baru dapat merubah organisasi secara signifikan, yang dikendalikan dari atas (pimpinan organisasi/CEO) tetapi diperkuat melalui struktur, proses, dan sistem baru, serta keselarasan perilaku yang mengalir di seluruh jajaran pimpinan.
Membangun dan Mempertahankan Budaya Risiko
Tindakan yang diambil oleh pimpinan pada TD Bank telah mengubah (re-engineering) budaya organisasi dalam mengelola risiko (risk culture). Budaya dalam hal ini mengacu pada asumsi bersama, nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma perilaku yang berkaitan dengan manajemen risiko. Membangun dan mempertahankan budaya risiko dalam suatu organisasi bukanlah hal yang mudah dan pastinya memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dibutuhkan ketekunan dari seorang pimpinan organisasi dan terdapat proses agar budaya risiko itu terintegrasi di dalam organisasi. Berikut merupakan bagan dari serangkaian proses dalam membangun dan mempertahankan budaya, khususnya budaya risiko, di organisasi:[5]
Think It
Budaya bersifat dinamis. Budaya berkembang karena cara yang sedang dan sudah dilakukan. Budaya yang ada pada periode ‘t’ telah terbentuk oleh apa yang dilakukan pada ‘t-1’, dan mempengaruhi apa yang dilakukan pada ‘t+1’. Namun demikian, budaya dapat dengan sengaja diciptakan oleh para pemimpin yang membutuhkan pentingnya perubahan budaya strategis, yang dalam hal ini budaya risiko. Budaya baru yang disusun dan diterapkan TD Bank Group didasarkan atas pemikiran strategis (strategic thinking) dan manfaat dibalik budaya manajemen risiko yang kuat. Pimpinan organisasi harus memikirkan beberapa hal, seperti: mengapa budaya tersebut perlu dibentuk, siapa yang diharapkan untuk memimpin dan menyebarluaskan budaya, bagaimana perubahan budaya akan diperkenalkan, dan lain sebagainya. Pemikiran dan komitmen pimpinan organisasi untuk menciptakan satu irama yang sama (tone at the top) adalah hal yang penting sebagai pendorong utama untuk memulai budaya risiko.
Talk It
Agar budaya risiko dapat melekat ke dalam seluruh organisasi, maka perlu untuk mengkomunikasikannya dengan sering, berulang-ulang, terus menerus, dan menggunakan berbagai media. Namun demikian, komunikasi bukan hanya sekedar pengulangan pesan belaka. Jika pesan, mengenai budaya risiko, yang disampaikan ingin didengar, dipahami, dan kemudian diterapkan, maka pesan tersebut harus mempunyai makna. Komunikasi belum benar-benar terjadi sampai semua orang memahami apa implikasinya bagi mereka dan bagaimana mereka akan melakukan sesuatu yang berbeda di masa depan. Arah harus cukup jelas untuk memberikan bimbingan dalam pengambilan keputusan dan berperilaku.
Walk It
Jika organisasi mengharapkan agar orang-orang di dalamnya melakukan perilaku berbudaya risiko yang diinginkannya, maka harus diciptakan suatu pendekatan yang jelas terhadap manajemen risiko. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menciptakan kejelasan dalam struktur dan sistem manajemen risikonya, melakukan asesmen dan memberikan rewards, dan bahkan melakukan promosi serta perekrutan orang-orang tertentu ke dalam peran kepemimpinan. Prosedur harus didokumentasikan, disosialisasikan, untuk kemudian diimplementasikan dalam setiap pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar ada kejelasan mengenai langkah-langkah yang harus diambil.
Reinforce It
Segala sesuatu yang baik biasanya akan menjadi lebih baik apabila diperkuat (reinforce). Pemimpin organisasi ingin menciptakan budaya (risiko) yang kuat sehingga karyawan memahami apa yang diharapkannya dan para pemangku kepentingan dapat memahami apa yang diharapkan dari organisasi. Ketika berbicara mengenai budaya yang kuat, maka setiap individu dalam organisasi perlu mendapatkan nilai-nilai organisasi. Pemimpin organisasi dengan budaya risiko yang kuat tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menyebarluaskan keberhasilan organisasinya dan terus-menerus meningkatkan kesuksesan itu dengan budayanya. Namun, organisasi harus berhati-hati dalam perayaan keberhasilan tersebut agar tidak menimbulkan rasa keangkuhan. Kasus TD Bank Group memberikan contoh budaya risiko yang baik dengan terus memperkuat budaya mereka di setiap kesempatan yang ada melalui komunikasi secara terus menerus dengan para pemangku kepentingannya namun tetap bersikap rendah hati.
Check It
Dalam lingkungan organisasi yang kompleks dan selalu berubah, hampir setiap strategi yang diterapkan dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan, dan juga tidak semua budaya organisasi terbebas dari dampak yang tidak dinginkan. Maka dari itu diperlukan pemantauan dan pengecekan secara rutin terhadap strategi ataupun budaya yang sudah diterapkan dalam organisasi. Hal ini dilakukan untuk memastikan dampak buruk dari penerapan budaya ataupun strategi tidak muncul. Dengan demikian, keselaran antara budaya risiko dan strategi yang diterapkan oleh organisasi akan terwujud yang pada akhirnya akan mendukung pencapaian sasaran organisasi.
Keselarasan Budaya Risiko dengan Strategi Organisasi
Risiko merupakan dampak dari ketidakpastian terhadap sasaran organisasi. Setiap tindakan yang diambil organisasi untuk mencapai sasarannya akan selalu menghadapi risiko. Baik atau buruknya organisasi dalam mengelola risikonya tergantung pada budaya risiko yang berlaku dalam organisasi tersebut. Budaya risiko secara signifikan dapat mempengaruhi kemampuan organisasi dalam mengambil keputusan risiko strategis dan kinerja manajemen risikonya.[3]
Apabila budaya risiko yang diterapkan tidak sesuai atau bertentangan dengan strategi organisasi, maka akan menghambat pencapaian sasaran strategis organisasi, bahkan akan berdampak buruk pada reputasi dan keuangan organisasi. Sebaliknya, apabila budaya yang diterapkan selaras dengan strategi organisasi, maka dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif, dengan asumsi bahwa strategi itu sendiri adalah yang benar. Oleh karena itu, dibutuhkan pimpinan organisasi yang dapat menyelaraskan budaya risiko dengan strategi organisasi agar organisasi lebih kuat dan mampu dalam mengelola risikonya, sehingga sasaran organisasi dapat tercapai.
Referensi:
[1] Gandz, J., Crossan, M., Seijts, G., & Stephenson, C. (2010). Leadership on Trial: A Manifesto for Leadership Development. London, Ontario: Richard Ivey School of Business. http://www.ivey.uwo.ca/research/leadership/research/books-and-reports.htm
[2] Institute of International Finance. (2009). Risk Culture – Reform in the Financial Services Industry: Strengthening Practices for a More Stable System. The Report of the IIF Steering Committee on Implementation (SCI). Retrieved from http://www.iif.com/download.php?id=rvQQAgKiCMM=
[3] Institute of Risk Management. (2012). Risk Culture: Under the Microscope Guidance for Boards. London: Institute of Risk Management. Retrieved from http://www.theirm.org/documents/Risk_Culture_A5_WEB15_Oct_2012.pdf.
[4] Gandz, J. (2012). Risk Leadership at TD Bank Group. London, Ontario: Richard Ivey School of Business. Retrieved from https://www.iveycases.com/ProductView.aspx?id=53391
[5] Gandz, J. & Seijts, G. (2013). Leadership and Risk Culture. London, Ontario: Richard Ivey School of Business. Retrieved from https://www.iveycases.com/ProductView.aspx?id=58022
Ditulis oleh: Afwan Ghany Saputra
(Associate Researcher – CRMS Indonesia)