Oleh: Charles R. Vorst,
Ketua Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA), Technical Adviser CRMS Indonesia
Popularitas terminologi ESG, atau dikenal juga dengan Environmental, Social, Governance, semakin kemari semakin banyak menjadi topik diskusi di berbagai perusahaan di Indonesia, mungkin salah satunya adalah perusahaan tempat Anda berkarya saat ini. Bagi banyak pihak, ESG merupakan suatu sistem penilaian perusahaan yang digunakan oleh para investor, khususnya para investor yang memiliki kepedulian terhadap aspek berkelanjutan dalam bisnis, untuk menilai apakah perusahaan memiliki kepedulian terhadap aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam menjalankan operasional bisnisnya. Kenyataannya, tidak sedikit hal yang harus dilakukan oleh suatu perusahaan untuk mendapatkan skor ESG sebagaimana yang diminati oleh para investor. Sehubungan dengan hal tersebut, dan tanpa bermaksud untuk menggurui, artikel ini bermaksud untuk memperkenalkan ESG secara lebih dekat dan bagaimana memulai penerapannya.
Berlatar belakang semakin meningkatnya kepedulian terhadap kerusakan lingkungan alam dan meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak sosial manusia sebagai makhluk hidup hingga dirumuskannya Sasaran Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, disingkat SDG) oleh PBB di tahun 2015 serta Kesepakatan Paris antar negara-negara anggota PBB untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2⁰ Celcius, dunia korporasi diharapkan dapat secara aktif ikut berkontribusi dalam pencapaian SDG dan pencegahan kenaikan suhu bumi. Sehubungan dengan hal ini, perlu ada suatu denominator yang dapat menunjukkan sejauh mana kontribusi yang diberikan oleh suatu perusahaan. Menjawab kebutuhan ini, beberapa pihak kemudian merumuskan kerangka kerja ESG (ESG Framework) di mana berdasarkan kerangka kerja ini lembaga-lembaga penilai melakukan penilaian terhadap aspek ESG dalam operasional bisnis suatu perusahaan dengan keluaran sebuah skor. Skor inilah yang kemudian diharapkan untuk dilaporkan oleh perusahaan sehingga dapat digunakan oleh investor, maupun pemangku kepentingan lainnya seperti manajemen perusahaan, pelanggan, dan regulator, untuk menilai sejauh mana suatu perusahaan menjalankan bisnis yang berkelanjutan karena dijalankan berdasarkan landasan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) serta ramah terhadap lingkungan alam dan sosialnya. Adapun beberapa lembaga penilai bertaraf internasional yang menyelenggarakan penilaian ESG antara lain seperti S&P, Sustainalytics, Fitch, MSCI, ISS, dan CDP. Di Indonesia sendiri sebenarnya belum ada suatu kewajiban regulasi yang mewajibkan Perusahaan, atau organisasi lainnya, untuk melakukan penilaian ESG dan melaporkannya kepada pemangku kepentingan, misalnya kepada regulator maupun masyarakat. Meski demikian, telah ada beberapa regulasi yang dapat menjadi indikator bagi perusahaan di Indonesia, khususnya bagi BUMN dan anak perusahaanya, perusahaan terbuka, dan perusahaan yang berkecimpung di sektor jasa keuangan, untuk segera bersiap diri menghadapi potensi kewajiban penilaian ESG dari regulasi yang sepertinya tidak lama lagi dapat dikeluarkan oleh berbagai regulator. Adapun regulasi yang dimaksud antara lain Perpres No. 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, Perpres No. 111/2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Permen LHK No. 21/2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, Permen BUMN No. 1/2023 tentang Penugasan Khusus dan Program Tanggung Jawab Sosial (TJSL) BUMN, dan Permen No. 2/2023 tentang Pedoman Tata Kelola dan Kegiatan Korporasi Signifikan BUMN. Selain itu, OJK juga telah menerbitkan POJK No. 51/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, selain dari merilis Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I dan II, serta Taksonomi Keuangan Berkelanjutan.
Jika Perusahaan tempat Anda berkarya hendak memulai persiapan menuju penilaian dan pelaporan ESG maka beberapa hal berikut dapat menjadi rujukan pelaksanaan. Pertama-tama, dapatkan informasi tentang ESG sebanyak-banyaknya. Hal ini dapat dilakukan melalui riset sederhana di internet, mengikuti pelatihan-pelatihan tentang ESG yang tersedia di dalam maupun luar negeri, melakukan benchmarking ke perusahaan, atau organisasi, yang telah menjalankan penilaian ESG, baik yang ada di Indonesia maupun luar negeri, serta berkonsultasi dengan pihak-pihak eksternal independen tentang bagaimana mengawali pembangunan kesiapan perusahaan terhadap penilaian dan pelaporan ESG. Hal kedua yang kemudian perlu dilakukan adalah memilih lembaga penilai. Hal ini penting karena masing-masing lembaga penilai dapat mengusung metodologi dan hasil (skor) penilaian yang berbeda-beda, seperti S&P yang berbasis pada kinerja, Sustainalytics yang berbasis pada risiko, dan CDP yang berfokus pada aspek environmental. Berkaitan dengan pemilihan lembaga penilai ini, di tahap awal Perusahaan dapat memilih lebih 1 lembaga penilai dengan tujuan bersiap terhadap beberapa metodologi penilaian yang berbeda sekaligus mendapatkan hasil yang lebih komprehensif dari sudut pandang penilaian yang berbeda. Dengan memilih lembaga penilai maka kita dapat berfokus pada beberapa kerangka kerja ESG terseleksi (selected ESG Frameworks) yang tercermin pada parameter dan indikator penilaian dalam model yang diusung oleh lembaga penilai yang dipilih, di mana kita kemudian dapat melakukan shadow rating dalam rangka gap analysis antara hypothetical score, yang didapat melalui shadow rating, dengan skor yang menjadi ekspektasi atau target perusahaan. Hal ketiga, berdasarkan hasil gap analysis, perusahaan kemudian dapat menyusun roadmap untuk menutup kesenjangan yang ada di mana hal ini sekaligus berarti membangun kesiapan perusahaan untuk menghadapi penilaian ESG yang sesungguhnya. Berkaitan dengan penyediaan roadmap ini, perusahaan bisa kembali melakukan benchmarking, namun kali ini disarankan dengan perusahaan sejenis, dan atau berkonsultasi dengan pihak-pihak eksternal independen dengan tujuan agar roadmap yang dibuat dapat menjadi peta jalan penerapan aspek ESG yang aplikatif dalam operasional bisnis perusahaan. Adapun peta jalan yang aplikatif ini menjadi suatu hal yang sangat penting menuju capaian skor penilaian ESG yang ditargetkan. Mengingat peta jalan ini dapat memuat perbaikan dan perubahan beragam hal yang biasa dijalankan perusahaan, di mana perbaikan dan perubahan ini dapat membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit, maka hendaknya sedari awal dapat dilaksanakan awareness program bagi manajemen puncak perusahaan, direksi dan dewan komisaris, serta sangat disarankan termasuk juga pemegang saham pengendali, agar manfaat dari implementasi ESG dapat dipahami dengan baik dan dari situ, komitmen terhadap penerapan ESG didapatkan dari jajaran manajemen puncak dan pemilik Perusahaan.
Sebagai informasi tambahan, saat ini ISO juga sedang berinisiatif untuk menyusun standar ISO tentang kerangka kerja ESG. Hal ini tentu saja perlu direspons secara positif karena kerangka kerja ini nantinya dapat menjadi referensi praktik terbaik global yang menjembatani ragam perbedaan dari kerangka-kerangka kerja ESG yang ada saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, besar harapan kita semua bahwa keberadaan standar ISO tentang kerangka kerja ESG dapat segera diadopsi menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga tersedia suatu rujukan bersama untuk praktik terbaik nasional tentang penerapan (dan penilaian) ESG di Indonesia.
Untuk info lebih lanjut tentang program international benchmarking ESG, hubungi secretariat@crmsindonesia.org.